Perlawanan Gerakan Islam Terhadap
Penjajahan Belanda
B.C. de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda
(1931-1936), mengatakan: “Wij zijn hier al drie honderd jaren en wij zal nog
meer dan drie honderd jaren hier blijven,”artinya “Kita sudah berada di sini tiga ratus tahun dan kita
akan masih tiga ratus tahun lagi berada di sini.” Jelaslah bahwa penjajahan Belanda sudah berlangsung
tiga abad lamanya adalah pernyataan politis. Dalam buku Indonesia’s History Between the Myths,
Essays in Legal History Between the Myths, 1968, sarjana hukum Prof. Dr. G. J. Resink, dengan
bukti-bukti hukum dan lain-lainnya yang mengesankan, delapan kajian tentang
kekeliruan bahwa “salah satu mitos utama Sejarah Indonesia adalah mitos yang
menyatakan selama tiga ratus lima puluh tahun kepulauan Nusantara dikuasai oleh
Belanda.” Secara akurat beliau menentang mitos itu dengan memberikan gambaran
kepulauan Nusantara terdiri atas beberapa negara merdeka atau setengah merdeka
bahkan sampai dasawarsa pertama abad keduapuluh.
Dari kepulauan Nusantara, yang dihuni oleh satu
bangsa, satu darah dan satu keturunan, satu budaya dan satu bahasa, jatuh ke
dalam kekuasaan empat kerajaan asing, yaitu Portugis (Timor), Sepanyol
(Filipina), Inggeris (Malaka, Brunai/Sarawak) , dan Belanda (Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara, Maluku, dan Irian Barat (Papua). Mereka
tukar-menukar daerah seperti menukar barang dagangan seperti Nieuw Amsterdam
(New York) oleh Belanda ditukar dengan Suriname dan Pulau Run milik Inggeris di
kepulauan Banda. Pada tahun 1824 diadakan perjanjian antara Inggeris dan
Belanda. Inggeris menyerahkan haknya atas Bengkulu (yang mereka namakan
Bencoolen) dan Belitung (yang mereka namakan Billiton) kepada Belanda. Sultan
Riau menyerahkan Singapura kepada Inggeris, yang semula dikuasai oleh Belanda,
dan pada gilirannya oleh Belanda ditukar dengan Bengkulu.
Demikianlah Indonesia, pada awal abad keduapuluh
ditaklukkan dan dibagi-bagi oleh bangsa-bangsa Barat. Kendatipun begitu, bukan
berarti bahwa Indonesia telah jatuh ke tangan penjajah seakan-akan sangat
mudah. Sejarah Indonesia pada zaman atau pada masa-masa kegelapan penjajahan,
adalah pula berabad-abad perang kemerdekaan untuk melawan penjajahan yang
berkecamuk di seluruh pelosok serta penjuru Tanah Air kita yang tercinta, silih
berganti.
Hampir seluruh pemberontakan terhadap penguasa Belanda
di Nusantara ini terus menerus digerakkan oleh semangat Islam yang tidak pernah tinggal diam melihat penindasan dan
kemunkaran lainnya.
Antara lain kita mengenal peristiwa Batavia dikepungan
digempur oleh Sultan Agung (1613-1645), Perang Makassar (1633-1669), Perang
Trunojoyo dan Karaeng Dalesong (1675-1680), Perang Palembang (1818-1821),
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjar
(1854-1864), Perang Aceh (1875-1903), serta banyak lagi perlawanan dan
pemberontakkan kecil yang tidak disebutkan sejarah. Dalam bermacam peperangan
ini telah tertawan dan gugur sebagai pahlawan bangsa serta syuhada karena jihad
fi sabilillah, tokoh-tokoh seperti Sultan Hasa nuddin, Trunojoyo, Karaeng
Galesong, Untung Suropati, Pangeran Antasari, Pangeran Hidayatullah, Tuanku
Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Panglima Polem, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik
Di Tiro, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, dan ribuan pengikut-pengikutnya yang tidak
bisa disebut satu per satu.
Pemerintah kolonial Belanda yang memang menjajah
Indonesia untuk tujuan menguras habis kekayaan Indonesia, demi kepentingan
kemakmuran bangsanya, teramat sadar bahwa pola penindasan dan penghisapan
terhadap pribumi Indonesia mendapatkan perlawanan sengit dari kalangan Islam,
karena itu pemerintah kolonial Belanda menempatkan
Islam sebagai musuh nomor satu.
Tidak ada kekuatan yang paling ditakuti pemerintah kolonial Belanda di
Indonesia ini kecuali kebangkitan Islam yang didukung oleh rakyat. Ahli-ahli
orientalis Belanda sudah lama tahu bahwa kebangkitan Islam berarti bangkitnya
kesadaran rakyat untuk membebaskan diri dari penindasan, ini berarti perlawanan
terhadap penjajahan. Pemerintah kolonial Belanda dari pengalamannya sadar bahwa
tidak bisa memisahkan antara militansi perlawanan rakyat pribumi dengan Islam.
Islam dan rakyat Indonesia seperti ruh dengan badan. Islam dan rakyat Indonesia
merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.
Perang Paderi (1821-1832), Perang Diponegoro
(1825-1830), Perang Banjar (1854-1864), dan Perang Aceh (1875-1903),
menyebabkan kas Hindia Belanda nyaris bangkrut.Ongkos imperialisme Belanda
secara semena-mena diletakkan di atas pundak Jawa-Madura melalui Cultuurstelsel
atau Sistem Tanam Paksa antara 1830-1870. Gubernur Jendral Van den Bosch
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan
tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan yang besar.
Setelah berbagai perlawanan rakyat (Umat Islam)
dipadamkan, maka pada giliran berikutnya pemerintah kolonial Belanda berusaha
memojokkan peranan Islam di bidang politik untuk mencegah perlawanan rakyat……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar